Industri Rokok Tertekan, Minta Cukai Direm Pemerintah

Admin

01/06/2025

4
Min Read

On This Post

Industri Hasil Tembakau (IHT) di Indonesia kini menghadapi masa sulit. Data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan adanya kontraksi sebesar 3,77% (year-on-year/yoy) pada industri pengolahan tembakau di kuartal I-2025. Padahal, pada periode yang sama di tahun 2024, sektor ini masih mampu mencatatkan pertumbuhan positif sebesar 7,63% yoy.

Penurunan yang cukup signifikan ini mengindikasikan bahwa IHT semakin tertekan oleh berbagai faktor. Kenaikan tarif cukai setiap tahun, melemahnya daya beli masyarakat, serta maraknya peredaran rokok ilegal menjadi beberapa penyebab utama.

Kondisi tertekan ini dikhawatirkan akan semakin parah dengan adanya berbagai kebijakan yang dianggap memberatkan industri. Salah satunya adalah implementasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan, beserta aturan turunannya seperti rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) tentang penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek atau yang dikenal dengan istilah plain packaging.

Sejumlah pasal dalam regulasi tersebut dinilai membatasi ruang gerak para pelaku usaha di sektor tembakau. Selain itu, sektor industri tembakau juga terus dihantui ketidakpastian usaha yang dipicu oleh berbagai wacana aturan turunan PP 28/2024, serta isu kenaikan tarif cukai yang terjadi setiap tahunnya.

Sebelumnya, Wakil Menteri Perindustrian (Wamenperin) RI, Faisol Riza, mengungkapkan bahwa Kementerian Perindustrian telah mencapai kesepakatan dengan Kementerian Kesehatan untuk membatalkan rencana penerapan plain packaging dalam Rancangan Permenkes. Langkah ini merupakan bagian dari upaya untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan kesehatan masyarakat.

"Kementerian Perindustrian (Kemenperin) memahami betul kepentingan industri. Kami telah menyampaikan agar kemasan rokok tidak diseragamkan, karena industri meminta untuk menghindari isu-isu yang semakin menekan," kata Faisol Riza.

Pernyataan Wamenperin tersebut mendapat respons positif dari berbagai pihak, termasuk Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (GAPRINDO). Ketua Umum GAPRINDO, Benny Wachjudi, menyoroti dampak nyata dari regulasi tersebut terhadap kinerja industri. Ia mencatat adanya penurunan volume penebusan cukai pada kuartal pertama 2025 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Penurunan ini bertepatan dengan mulai diberlakukannya ketentuan dalam PP 28/2024.

"Memang terjadi penurunan volume penjualan. Jika kita melihat data penebusan cukai, terlihat jelas bahwa volume juga mengalami penurunan pada kuartal pertama, yaitu Januari hingga Maret 2025, dibandingkan periode yang sama di tahun 2024. Terlebih lagi, ketentuan dalam PP 28/2024 juga sudah mulai diterapkan," jelas Benny.

Ia menjelaskan bahwa kebijakan seperti larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak, serta pengaturan zat adiktif dalam PP 28/2024, telah memicu peningkatan peredaran rokok ilegal. Hal ini berdampak langsung pada penurunan volume penjualan rokok legal serta nilai tambah industri.

Melihat kondisi yang semakin sulit, Benny menyatakan dukungannya terhadap pembatalan pasal-pasal tembakau dalam PP 28/2024, serta penolakan terhadap wacana plain packaging. "Kami berharap plain packaging tidak jadi diterapkan. Kami juga berharap pasal-pasal yang berdampak signifikan bagi industri hasil tembakau dapat dipertimbangkan kembali. Kami meminta untuk kembali saja ke PP yang lama, yaitu PP 109/2012. Itu adalah solusi yang kami tawarkan," ungkapnya.

Lebih lanjut, Benny juga mendukung usulan untuk tidak menaikkan Cukai Hasil Tembakau (CHT) selama tiga tahun ke depan atau moratorium. Ia menegaskan bahwa sejak pandemi COVID-19, IHT telah mengalami tekanan berat akibat kenaikan cukai yang cukup besar. "Jadi, poin yang paling penting adalah saya sangat setuju dengan tidak adanya kenaikan cukai selama tiga tahun," tegasnya.

Benny menekankan bahwa IHT tetap menjadi salah satu penyumbang utama penerimaan negara. Ia menyebutkan bahwa penerimaan dari CHT mencapai Rp216,9 triliun per tahun, bahkan melebihi total dividen yang disetorkan oleh BUMN setiap tahunnya.

Tidak hanya itu, IHT juga memegang peranan penting dalam penyerapan tenaga kerja dari hulu hingga hilir. Mulai dari petani tembakau dan cengkih, pekerja pabrik, hingga pedagang eceran, seluruh rantai pasok akan terkena dampak jika sektor ini terus ditekan oleh kebijakan yang tidak berpihak. "Jadi, salah satu argumentasi kami adalah industri hasil tembakau masih perlu dipertahankan dan dijaga pertumbuhannya," tambahnya.

Benny berharap pemerintah dapat memberikan ruang bagi IHT untuk tumbuh dan beradaptasi, bukan justru menambah tekanan melalui regulasi yang membatasi dan kebijakan fiskal yang memberatkan. Menurutnya, peninjauan kembali PP 28/2024 beserta aturan turunannya, serta moratorium kenaikan CHT selama tiga tahun, merupakan langkah awal yang krusial untuk menyelamatkan industri yang memiliki kontribusi besar terhadap perekonomian nasional dan keberlangsungan hidup jutaan tenaga kerja di Indonesia.